Rabu, 14 Oktober 2015

Kisah Sidharta Gautama Cerita Agama Budha Bag 3

Pangeran Siddhttha melihat istri dan anaknya yang sedang tertidur

Setelah itu Pangeran pun meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka diikuti oleh Channa yang mengikuti dari belakang sambil memegangi ekor Kanthaka. Pangeran Siddhattaha dengan mudah melewati semua penjaga pintu gerbang dan gerbang kota, karena mereka semua sedang tertidur lelap. Setelah sampai di luar perbatasan kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat Kota Kapilavatthu terakhir kalinya (di tempat itu, sekarang sudah didirikan sebuah cetiya yang diberi nama Kanthakanivattana-cetiya). Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan melintasi perbatasan Negeri Sakka, Koliya dan Malla hingga menyeberangi Sungai Anoma. Di sana Pangeran Siddhattha turun dari kuda, melepaskan semua jubah dan perhiasannya untuk diserahkan kepada Channa. Pangeran mencukur kumisnya, membersihkan tubuhnya dan memotong rambutnya dengan pedang, dan kemudian pedang itu dilemparkan ke atas. Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (dua jari), sekitar dua inchi. Rambut ini pun tetap tak bertambah panjang sampai seumur hidup Pangeran Siddhattaha. Kemudian Pangeran membawa 8 perlengkapan seorang bhikkhu yang sudah dipersiapkan sebelumnya. 8 perlengkapan itu adalah jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum dan saringan air. Setelah itu Pangeran menyuruh Channa untuk kembali istana.


Pangeran Siddhattha bersama Channa dan Kanthaka kabur dari istana

“Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah hamba ikut bersama Tuanku.”

“Jangan, Channa. Bawa semua pakaian dan perhiasan ini kembali dan berikan kepada Ayahanda. Sampaikan pesan kepada Ayahanda, Yasodhara, Ibunda dan semua orang untuk jangan terlalu bersusah hati. Aku pasti akan menemukan obat yang dapat menghentikan usia tua, sakit dan mati. Setelah aku memperolehnya, aku akan membagikannya kepada semua makhluk di dunia ini.”

Channa memberi hormat dan mohon diri untuk kembali ke istana. Tapi Kanthaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka dan mengusap-usap dan menepok-nepok lehernya dengan penuh rasa kasih sayang.

“Ayolah, Kanthaka. Ikutlah pulang bersama dengan Channa. Tunggulah sampai aku berhasil menemukan obat itu. Aku pasti akan membaginya padamu.”

Kanthaka pun ikut dengan Channa, tapi baru berjalan tidak seberapa jauh, Kanthaka berhenti dan menengok ke belakang untuk melihat Pangeran terakhir kalinya. Kanthaka sedih sekali hingga air matanya pun mengalir membasahi kedua matanya. Tidak lama kemudian, Kanthaka tiba-tiba terjatuh dan meninggal dunia. Setelah meninggal dunia, Kanthaka pun terlahir di Alam Dewa Tusita.

Mengetahui bahwa Pangeran Siddhattha, Channa dan Kanthaka menghilang dari istana, Raja Suddhodana mengutus semua pengawal pergi mencari mereka. Kemudian ada sekelompok pengawal yang bertemu dengan Channa yang sedang berjalan sendirian. Mereka membawa Channa pulang ke istana, dan kemudian Channa menceritakan semuanya kepada Raja Suddhodana, Ratu Pajapai Gotami, Putri Yasodhara dan seluruh anggota kerajaan.

Channa menyerahkan semua peninggalan Pangeran Siddhattha kepada Raja Suddhodana dan menyampaikan salam perpisahannya kepada Ratu Pajapati, Yasodhara dan seluruh anggota kerajaan. Channa juga memberitahukan bahwa saat ini Pangeran Siddhattha sedang berada di tepi Sungai Anoma di Negeri Malla. Meskipun Raja sangat kecewa, namun ia tahu bahwa kepergian Pangeran Siddhattha ini sesuai dengan ramalan dari Petapa Asita dan Kondanna. Kini Raja hanya bisa berharap-harap cemas agar Pangeran dapat berhasil menjadi Buddha. Sejak saat itu, Raja menyuruh orang kepercayaannya untuk mengikuti dan melaporkan setiap hal yang dikerjakan oleh Pangeran Siddhattha.



Pangeran Siddhattha memotong rambutnya sebagai tanda pelepasan duniawi
Bertapa di Hutan Uruvela
Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran Siddhattha lalu pergi ke kebun mangga di Anupiya dan berdiam di sana sampai tujuh hari. Suatu pagi Pangeran berjalan ke arah Rajagaha untuk pindapata (berjalan dengan mangkuk dan menerima pemberian makanan dari para penduduk). Di sana Pangeran (Petapa Gotama) menolong sekawanan domba-domba yang akan disembelih oleh satu kelompok aliran kepercayaan di Pandavapabbata. Pangeran lalu menjelaskan betapa hal itu adalah kesia-siaan, dan akhirnya penyembelihan domba itu pun tidak sampai terjadi. Raja Bimbisara terkesima dengan kebijaksanaan Petapa Gotama. Raja Bimbisara pun mengundang Petapa Gotama untuk tinggal di kerajaannya dan membabarkan ajarannya kepada banyak orang. Tetapi Petapa Gotama menolaknya dan menjawab:


“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat mencintai orang tuaku, istriku, anakku, Anda sendiri, dan semua makhluk di dunia ini. Aku belum mencapai Pencerahan Sempurna. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit dan mati. Karena itulah aku masih ingin melanjutkan perjalananku.”

Raja Bimbisara kemudian menjawab:

“Kalau itu menjadi keputusanmu, aku juga tidak akan memaksa. Tapi berjanjilah bila Anda sudah mendapatkan obat itu, maka jangan lupa untuk mengunjungi Rajagaha kembali.”

Dan Petapa Siddhattha mengiyakan permintaan Raja Bimbisara itu:

“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”

Dari Rajagaha, Petapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan sampai di tempat Petapa Alara Kalama. Di tempat ini Petapa Gotama berguru pada Petapa Alara Kalama. Petapa Gotama diajari tentang cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan konsep Tumimbal Lahir (proses penerusan kehidupan). Dalam waktu yang singkat, ia sudah menyamai kepandaian gurunya. Petapa Gotama merasa semua pengetahuan yang diajarkan gurunya ini masih belum bisa mengakhiri usia tua, sakit dan mati. Maka Petapa Gotama pun mohon diri dan melanjutkan pengembaraannya. Di tempat lain, Pertapa Gotama bertemu dengan Pertapa Uddaka Ramaputta dan ia pun melatih diri bersamanya. Uddaka Ramaputta terkenal sebagai petapa yang hebat di zaman itu. Di sana Petapa Gotama dan Petapa Uddaka Ramaputta mengembangkan cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga dapat mencapai keadaan “bukan-pencerapan dan bukan bukan-pencerapan”. Dalam waktu yang singkat, Petapa Gotama berhasil mencapai tingkat kemampuan yang tinggi. Karena itu Petapa Gotama diminta untuk menjadi mitra dan membantu untuk mengajarkan semua ilmunya kepada murid-murid Uddaka Ramaputta yang banyak sekali. Karena semua pengetahuan yang ia miliki sekarang masih juga belum berhasil mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka Petapa Gotama pun mohon diri dan kembali meneruskan pengembaraannya.

Petapa Gotama mendapat bimbingan dari Petapa Alara Kalama

Petapa Gotama kemudian sampai di Senanigama, di Uruvela. Di tempat ini Petapa Gotama bertemu dengan 5 orang petapa lain yang bernama Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji dan Kondanna. Mereka menerapkan cara ekstrim agar dapat mengendalikan batin dan kesadaran mereka, yang mereka percaya dapat menyelami kebenaran sejati guna menemukan cara menghindari usia tua, sakit dan mati. Mereka berlima bersama Petapa Gotama berlatih dengan menyiksa diri. Petapa Gotama melaksanakan latihan dengan cara yang paling ekstrim di antara mereka semua. Petapa Gotama menjemur dirinya di bawah terik matahari pada hari siang, dan pada waktu tengah malam ia berendam di sungai dalam waktu yang sangat lama. Ia juga merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Dengan sakit yang demikian hebatnya, Petapa Gotama berusaha agar batinnya tidak melekat, selalu waspada, tenang serta fokus. Setelah beberapa lama, Petapa Gotama kemudian menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar dari hidung atau mulut, namun keluar sedikit demi sedikt dari lubang telinga sehingga mengeluarkan suara yang mendesis. Petapa Gotama juga berpuasa dengan mengurangi makanannya dari hari ke hari, hingga hanya memakan sebutir nasi dalam waktu satu hari. Karena hal inilah maka kesehatan tubuhnya sangat memburuk. Badannya kurus sekali. Saking kurusnya, bahkan jika perut bagian depan ditekan dengan jari tangan, maka bagian punggung bawah pun akan muncul tonjolan akibat dari bagian perut depan yang ditekan tersebut. Kulit dan dagingnya sudah tersisa sedikit sekali. Ia bagaikan tengkorak hidup. Warna kulitnya berubah menjadi gelap kehitam-hitaman dan banyak rambutnya yang rontok. Ia juga tidak sanggup berdiri karena kakinya sangat lemah. Hal ini diketahui oleh orang kepercayaan Raja Suddhodana yang kemudian melaporkannya kepada Raja. Raja dan seluruh anggota istana menangisi keadaan Petapa Gotama. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap agar Petapa Gotama dapat dengan segera menjadi Buddha.

http://sidartasakyamuni.blogspot.co.id/

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar