Rabu, 14 Oktober 2015

Kisah Sidharta Gautama Cerita Agama Budha Bag 4

Petapa Gotama menerapkan latihan ekstrim sehingga kesehatan tubuhnya memburuk
Petapa Gotama pun berpikir jika cara yang ia terapkan sekarang adalah tidak benar. Ia merasa bahwa untuk melatih diri agar batin tidak lagi melekat dan selalu waspada pada setiap saat tidak harus dilakukan dengan cara seperti ini. Petapa Gotama pun mandi di sungai, kemudian berjalan dengan tertatih-tatih ke gubuknya untuk beristirahat. Namun ketika berjalan tidak seberapa jauh dari sungai, Petapa Gotama jatuh pingsan. Pada waktu itu ada seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang menemukannya. Ia kemudian memberi air susu kambing kepada Petapa Gotama sehingga dia pun menjadi siuman kembali. Petapa Gotama selalu dirawat oleh Nanda dan diberikan berbagai makanan bergizi sehingga perlahan pun kesehatannya pulih kembali. Hal ini diketahui oleh lima orang petapa yang lain. Mereka menganggap Petapa Gotama sudah gagal, maka mereka pergi meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa di Benares.

Saat kesehatan Petapa Gotama sudah pulih, ia kembali melakukan pertapaannya. Petapa Gotama merenungkan tentang cara-caranya selama ini, dan berusaha untuk mencari jalan yang benar agar dapat menemukan cara menghindari usia tua, sakit dan mati. Ketika ia sedang merenungkan hal ini, lewatlah serombongan penari ronggeng yang berjalan sambil berbincang-bincang. Salah satu dari penari ronggeng itu kemudian berkata:

“Kalau kecapi dipetik terlalu keras, maka talinya akan putus sehingga lagunya hilang. Kalau dipetik terlalu lemah, maka suaranya tidak akan harmonis. Orang yang dapat memainkan kecapi dengan baik adalah orang yang dapat memetik kecapi dengan tepat, sehingga lagunya harmonis.”


Petapa Gotama mendapat inspirasi setelah mendengar pembicaraan serombongan penari ronggeng
Mendengar ucapan salah satu penari ronggeng itu, Petapa Gotama mendapatkan pencerahan situasional. Ia kemudian menemukan jalan yang akan diterapkan guna mencapai Penerangan Agung atau Pencerhana Sempurna. Kemudian Petapa Gotama pun menggunakan jalan tengah yang ia temukan untuk mencapai Pencerahan Sempurna itu.

Di dekat tempat itu tinggallah seorang wanita muda kaya-raya yang bernama Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya untuk mendapatkan anak laki-laki dapat tercapai. Hari itu Sujata mengutus pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon tersebut. Sujata pun kaget ketika pelayannya datang kembali dengan tergesa-gesa dengan memberitahukan bahwa dewa pohon itu saat ini muncul. Mendengar hal ini Sujata gembira sekali. Sujata dengan menggendong bayinya kemudian bersama pelayan-pelayannya membawa berbagai masakan yang lezat untuk pergi ke tempat pohon itu. Sujata melihat dewa pohon itu sedang bermeditasi dan kelihatannya sangat agung. Ia tidak tahu bahwa orang yang dia anggap sebagai dewa pohon itu adalah Petapa Gotama. Kemudian Sujata dengan hati-hati mempersembahkan semua makanan kepada Petapa Gotama, yang dikiranya sebagai dewa pohon. Petapa Gotama menerima persembahan itu, dan setelah habis menyantapnya ia pun bertanya:

“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”

“Tuanku yang agung, makanan ini aku persembahkan sebagai ucapan terima kasihku karena Tuanku telah mengabulkan permohonanku untuk mendapatkan anak laki-laki.”

Kemudian Pertapa Gotama menengok ke arah bayi itu dan meletakkan tangannya di dahi bayi itu. Petapa Gotama pun berkata:

“Semoga hidupmu selalu diliputi berkah dan keberuntungan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi seorang petapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada semua makhluk yang berada dalam jalan kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat aku akan memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini, persembahan makananmu telah banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itulah, maka engkau pasti akan mendapatkan berkah yang sangat besar akibat persembahanmu ini. Tetapi, adikku yang baik, apakah engkau sekarang bahagia dan semua kehidupanmu sudah terpuaskan dari segala sisinya?”

“Tuanku yang agung, aku tidak menuntut banyak di kehidupan ini. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk Bunga Lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah puas dapat hidup bersama dengan suamiku dan membesarkan anak ini. Setiap hari dengan senang aku mengurusi semua pekerjaan rumah tangga, memberi sesajen kepada para dewata, serta tidak lupa kami sekeluarga selalu berbuat baik dan menolong orang yang memang membutuhkan pertolongan. Kami sekeluarga tahu bahwa keberuntungan selalu datang dari perbuatan baik, dan kemalangan selalu datang dari perbuatan jahat. Oleh karena itulah, apa yang musti kami sekeluarga takuti meski tiba saatnya kematian datang nanti?”

“Kau sudah memberikan penjelasan sederhana yang mengandung saripati kebajikan sangat tinggi di dalamnya. Meski kau tidak mempelajari semua segi dunia ini, namun kau dan sekeluargamu tahu jalan kebenaran dan menyebarkan keharuman sampai ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapatkan kepuasan, maka semoga aku pun juga akan mendapatkan apa yang aku cari.”

“Semoga Tuanku yang agung berhasil mencapai apa yang Tuanku cari selama ini.”

Petapa Gotama pun melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong. Di tepi sungai Neranjara, Petapa Gotama mengucapkan tekadnya (adhitthana) dalam hati:

“Jika memang jalan yang aku jalani ini benar dan akan membawaku pada Pencerahan Sempurna, biarlah mangkuk ini mengalir melawan arus sungai.”

Satu keajaiban pun terjadi, karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus. Hal ini membuat Petapa Gotama mendapatkan semangat baru dan kepercayaan yang sangat tinggi.



Petapa Gotama menerima persembahan makanan dari Sujata



Petapa Gotama mencapai Pencerahan Sempurna (Penerangan Agung)
Petapa Gotama melanjutkan perjalanannya, dan pada sore hari akhirnya ia tiba di Gaya. Ia memilih untuk bermeditasi di bawah Pohon Bodhi. Kemudian ia menyiapkan tempat di sebelah timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Ia kemudian bertekad dan berkata dalam hati:

“Dengan disaksikan oleh Bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Pencerahan Sempurna dan merealisasi Nibbana.”

Sotthiya mempersembahkan rumput kering untuk digunakan sebagai alas bermeditasi bagi Petapa Gotama

Kemudian Petapa Gotama melaksanakan meditasi anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan objek keluar-masuknya nafas. Tidak lama kemudian, semua pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya. Muncullah semua pikiran akan keinginan pada benda-benda dan hal-hal duniawi yang dapat memuaskan nafsu, tidak menyukai penghidupan yang suci dan bersih, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, rasa malas dan ketidakinginan berbuat apa-apa, rasa kantuk yang berat, takut terhadap makhluk-makhluk halus dan gangguan dari hewan-hewan di hutan, gelisah, goyah saat merasakan perubahan kondisi dan cuaca di lingkungan hutan, keragu-raguan terhadap Dhamma, kebodohan (ketidaktahuan), keras kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan kesombongan serta memandang rendah orang lain. Semua pikiran tidak baik itu mucul bersama dan datang silih-berganti. Dengan ketenangan dan kesabaran yang luar biasa, Petapa Gotama berusaha agar tidak terhanyut dalam pikiran tersebut. Namun ia berusaha tetap memandangnya dengan kesadaran penuh sebagai sesuatu yang muncul dan lenyap karena ada sebab dan akibat di dalamnya. Petapa Gotama terus menyelami semua gejolak ini. Petapa Gotama pun memberantas sikap-sikap tidak baik yang merintangi Pembebasan, yaitu:
o Kerinduan terhadap duniawi (Kamachanda-Nivarana)
o Itikad- itikad jahat (Vyapada-Nivarana)
o Kemalasan dan kelambanan (Thinamiddha-Nivarana)
o Kegelisahan dan kekhawatiran (Uddhacca-Kukkucca-Nivarana)
o Keragu-raguan (Vicikiccha-Nivarana)


Ketika Petapa Gotama berhasil menyingkirkan kelima rintangan ini, maka timbullah kegembiraan. Karena gembira maka timbullah kegiuran (piti). Karena batin tergiur, maka seluruh tubuh terasa nyaman, kemudian Petapa Gotama merasa bahagia. Karena bahagia maka pikirannya menjadi terpusat. Lalu setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka Petapa Gotama masuk dan berdiam dalam jhana pertama; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai vitakka (pengarah pikiran pada objek) dan vicara (mempertahankan pikiran pada objek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, dan diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari “kebebasan”. Setelah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, Petapa Gotama memasuki dan berdiam dalam jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitakka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari tubuhnya diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari “konsetrasi”. Petapa Gotama telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, lalu berdiam dalam keadaan yang seimbang dan disertai dengan perhatian murni dan kewaspadaan yang jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh Para Arya sebagai “kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian murni”. Petapa Gotama kemudian memasuki dan berdiam dalam jhana ketiga. Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaaan bahagia yang tanpa disertai perasaan tergiur. Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, Petapa Gotama kemudian memasuki dan berdiam dalam jhana keempat; yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (sati parisuddhi). Demikian Petapa Gotama bermeditasi di sana, memenuhi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih.


Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Maka Petapa Gotama pun mengerti: “Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas 4 unsur pokok (unsur padat, cair, api dan angin), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran dan kematian; tidak memuaskan; dan karena sifatnya tidak kekal dan tidak memuaskan; maka tidak layak disebut sebagai 'aku' atau 'milikku'. Begitu pula dengan kesadaran (vinnana) yang berkaitan dengannya. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan “tubuh-ciptaan-batin” (mano-maya-kaya), yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (kesaktiaan - yang dilandasi oleh kemampuan batin).

Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibbasota (Telinga Dewa). Dengan kemampuan-kemampuan dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, Petapa Gotama mendengarkan suara manusia dan dewa dan semua makhluk, yang jauh maupun yang dekat. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus pikirannya sendiri, Petapa Gotama pun mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain.

Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang pubbenivasanussatinana (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Petapa Gotama melihat dengan terang tentang semua kelahiran-kelahirannya terdahulu, tanpa ada yang terlewatkan sedikit pun. Kejadian ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara pukul 18.00-22.00. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapata-nana) sesuai dengan tumpukan kamma mereka masing-masing. Dan dengan kemampuan dibbacakkhunana (Mata Dewa) yang jernih, melebihi mata manusia, Petapa Gotama melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul dan terlahir sesuai dengan perbuatan-perbuatannya. Kejadian ini terjadi pada waktu jaga kedua pada pukul 22.00-02.00.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar