Rabu, 14 Oktober 2015

Kisah Sidharta Gautama Cerita Agama Budha Bag 5


Petapa Gotama mengingat kehidupan-kehidupan lampaunya
Pada waktu jaga ketiga yaitu antara pukul 02.00-04.00, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin (asavakkhayanana)… Petapa Gotama mengetahui sebagaimana adanya “Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya penderitaan”. Dengan mengetahui dan melihat demikian, maka pikirannya terbebaskan dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda pewujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya. Dan ia pun mengetahui: “Berakhirlah kelahiran kembali, terjalanilah kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan setelah ini.”

Tidak ada unsur yang melekat lagi di batinnya. Petapa Gotama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan merealisasi Nibbana. Dan dengan disaksikan oleh Bumi, Petapa Gotama pun akhirnya sukses menjadi Buddha (Yang Tercerahkan). Dengan usaha sendiri hingga akhirnya sukses mencapai Pencerahan Sempurna, dan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengajarkan Dhamma kepada orang lain guna mencapai Pencerahan, maka Petapa Gotama pun disebut sebagai Sammasambuddha Gotama. Dengan wajah berseri dan batin yang sangat damai, Petapa Gotama kemudian mengeluarkan pekik kemenangan:

“Anekajati samsaram
Sandhavissam anibbissam
Gahakarakam gavesanto
Dukkha jati punappunam
Gahakaraka! Dittho’si
Punageham na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutam vismakhitam
Vismakharagatam cittam
Tanhanam khayamajjhaga.”

Yang artinya :

“Dengan letih Aku mencari "pembuat rumah" ini
Berlari-berputar dalam lingkaran tumimbal lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada akhir
Pembuat rumah! Sekarang telah Ku-ketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah Ku-robohkan
Semua fondasimu telah Ku-bongkar
Batin-Ku sekarang mencapai keadaan terbebas
Dan berakhirlah semua nafsu keinginan.”

Kemudian secara tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi. Sebuah gempa bumi dashyat yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Para Dewa dari berbagai alam datang dan bersuka-ria atas keberhasilan Petapa Gotama menjadi Buddha. Demikianlah Pengeran Siddhattha akhirnya berhasil menjadi Buddha pada usia 35 tahun di Bulan Vaisak pada tahun 588 SM.



Petapa Gotama mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Sammasambuddha
Tujuh minggu setelah Penerangan Agung

Selama minggu pertama, Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah Pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari semua nafsu-keinginan dan kemelekatan; sehingga batinnya menjadi sangat damai. Pada minggu kedua, Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari Pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus tanpa berkedip selama satu minggu penuh, sebagai cetusan rasa terima kasih. Selama minggu ketiga, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara; karena melalui Mata Dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa banyak sekali Dewa yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Pencerahan Sempurna. Selama minggu keempat, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar itu Sang Buddha bermeditasi dan menyelami abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu psikologi dan metafisika batin. Batin-Nya sedemikian bersih sehingga seluruh tubuh-Nya mengeluarkan kilauan cahaya biru, kuning, merah, putih dan jingga. Selama minggu kelima, Sang Buddha bermeditasi di bawah Pohon Ajapala Nigrodha (Pohon Beringin), yang letaknya tidak jauh dari Pohon Bodhi. Pada minggu keenam, Sang Buddha bermeditasi di bawah Pohon Mucalinda. Karena hujan lebat turun, tiba-tiba datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melilitkan badannya tujuh kali memutari dan memayungi Sang Buddha dengan kepalanya. Ketika hujan berhenti, ular kobra itu berubah menjadi seorang anak muda. Kemudian Sang Buddha berkata:

“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang bisa mendengar dan melihat kebenaran. Berbahagialah mereka yang bisa bersimpati pada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah mereka yang dapat hidup dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi nafsu-keinginan. Lenyapnya "ikatan tentang keberadaan aku" merupakan berkah tertinggi.”


Sang Buddha di pangku lingkaran ular kobra
Pada minggu ketujuh, Sang Buddha bermeditasi di bawah Pohon Rajayatana. Pada hari ke-50, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha yang sedang bermeditasi pada pagi hari. Mereka bernama Tapussa dan Bhalika. Setelah berpuasa selama tujuh minggu, akhirnya Sang Buddha mendapatkan persembahan makanan dari mereka berdua yang berupa beras dan madu. Persembahan dari mereka sangat banyak. Karena sudah menjadi tradisi bagi sejak dari Para Buddha terdahulu untuk tidak menerima persembahan makanan dengan kedua tangan, maka dengan kesaktian-Nya, Sang Buddha menerima semua persembahan makanan tersebut dalam satu mangkuk. Setelah Sang Buddha selesai makan, Tapussa dan Bhalika memohon agar diterima sebagai pengikut awam. Mereka pun diterima sebagai upasaka-upasaka (orang yang mengikuti Ajaran Buddha dan masih hidup sebagai perumah tangga) pertama yang berlindung pada Dviratna (Sang Buddha dan Dhamma). Kemudian mereka meminta sesuatu benda pada Sang Buddha, agar dapat mereka bawa pulang. Sang Buddha kemudian memberikan beberapa helai rambut (kesa dhatu = relik rambut). Mereka berdua menerimanya dengan gembira, dan mereka pun mendirikan sebuah pagoda di dekat tempat tinggal mereka untuk menyimpan kesa dhatu tersebut.


Setelah Tapussa dan Bhalika pergi, Sang Buddha merenungkan apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak. Sebelum mencapai Pencerahan Sempurna, Beliau memang berkehendak untuk membagikan “obat suci” itu kepada semua makhluk di dunia. Namun Sang Buddha masih menimbang-nimbang perihal ini. sebab Dhamma itu sangat dalam dan sulit dimengerti, sehingga bisa mengakibatkan munculnya pemahaman keliru ataupun menjadi satu pembabaran yang tidak dapat diterima oleh dunia. Kemudian Sang Buddha melihat ke kolam bunga teratai yang berada di dekat-Nya. Bunga teratai itu tumbuh di kolam yang kotor, namun ia sama sekali tidak terjerat ke dalam kolam itu. Memang ada bunga teratai yang masih berada di dasar kolam, ada juga yang masih berada di permukaan air kolam, namun ada juga yang menjulang tinggi di atas permukaan air kolam. Begitu juga pada batin semua makhluk di dunia ini. Ada yang masih tenggelam di kekotoran duniawi, ada juga yang dapat melihat cahaya terang di atas permukaan kolam keduniawian, namun ada yang mampu lepas sama sekali dari semua kekotoran duniawi. Atas dasar inilah maka Sang Buddha memutuskan untuk membabarkan Ajaran-Nya kepada khalayak ramai, dan dengan bertekad bahwa Beliau baru akan Parinibbana (mangkat) setelah Ajaran-Nya diterima dan disukai khalayak ramai. Sang Buddha juga tidak ingin melakukan hal ekstrim dalam rencana pembabaran Ajaran-Nya. Beliau tidak ingin memaksa semua orang mendengarkan Dhamma. Beliau hanya akan mencari orang-orang yang memang mampu untuk mendengar, melihat dan mempraktikkan Dhamma. Hanya orang yang memiliki sedikit debu di matanya yang bisa melihat Dhamma.

Perhatian Sang Buddha pertama kali ditujukan kepada Alara Kalama. Namun karena melalui kemampuan batin-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa seminggu yang lalu Petapa Alara Kalama sudah meninggal dunia. Kemudian perhatian selanjutnya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun Sang Buddha juga mengetahui bahwa Petapa Uddaka Ramaputta baru saja meninggal dunia pada kemarin malam. Karena itulah Sang Buddha menujukan perhatian-Nya pada kelima orang petapa yang pernah bertapa bersama-Nya dahulu.

Sang Buddha berangkat menuju Taman Rusa Isipathana di Benares. Dalam perjalanan menuju Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang Petapa Ajivaka bernama Upaka. Karena terpesona melihat keagungan Sang Buddha, Upaka pun bertanya:

“Siapakah Anda? Dan siapa guru Anda?”

Sang Buddha menjawab: “Saya adalah Orang Yang Diutus yg Maha Tahu, dan saya di berikan ajaran tentang apa saja demi keta`atan kepadanya.”

Upaka hanya menggelengkan kepala dan kemudian pergi. Sang Buddha sendiri juga kembali meneruskan perjalanan-Nya ke Benar.

Sekilas cerita dari agama budha ,apa bila ada kesalahan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan kepada Allah SWT saya mohon ampun.


0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar