Rabu, 14 Oktober 2015

Kisah Sidharta Gautama Cerita Agama Budha Bag 2



Pangeran Siddhattha memeragakan keterampilannya dalam seni memanah

Setelah Pangeran Siddhattha menikah dengan Putri Yasodhara, kekhawatiran Raja Suddhodana menjadi berkurang. Dengan pernikahan ini, Raja berharap agar Pangeran lebih diikatkan kepada hal-hal duniawi. Selanjutnya Raja masih harus tetap menjaga Pangeran agar tidak melihat Lima peristiwa, supaya Pangeran kelak tidak akan pergi dari istana untuk bertapa. Sejak kecil sampai sekarang, Pangeran tidak pernah diizinkan berjalan-jalan di kota yang penuh dengan berbagai macam keadaan yang menderita. Setiap pengawal maupun dayang yang sakit, maka dia harus diganti. Semua pengawal dan dayangnya adalah orang yang muda dan kuat. Semua dinding istana dibuat menjadi lebih tinggi, dan setiap pintu dijaga oleh pengawal kepercayaan Raja. Dengan demikian Pangeran Siddhattha dan Putri Yasodhara terus memadu cinta mereka di tiga istana super mewah itu, dan selalu dikelilingi para dayang dan para pengawal yang memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Dengan melakukan hal ini, Raja Suddhodana merasa puas dan berharap kelak Pangeran Siddhattha akan menggantikan dirinya sebagai Raja Negeri Sakka.
kali ketika Siddhartha duduk di atas sebongkah batu bulat di taman istana. Ia terpesona dengan sekoloni semut hitam yang sedang menguasai sarang rayap. Duduk berlama-lama di atas batu taman sebenarnya sudah menjadi kebiasaan dalam hidup pangeran muda ini. Setiap hari selalu saja ada yang mempesonanya. Seperti arak-arakan awan-gemawan yang berbaris rapi menunggu kedatangan sang angin yang menjatuhkan butiran-butiran air ke permukaan bumi untuk membantu suatu kehidupan baru. Atau seekor lebah yang asik menghisap madu bunga mawar merah, namun tidak menyadari bahwa ada mahluk lain yang mengintip di balik daun untuk memangsanya. Atau bahkan memperhatikan kepompong yang bergayut pada sebuah ranting pohon. Ia memperhatikan kepompong tersebut berhari-hari sampai pada akhirnya seekor kupu-kupu terbang bebas dari dalamnya. Dengan susah payah kupu-kupu itu mencoba mendobrak cangkang kepompongnya untuk keluar sebagai mahluk baru. Menghirup udara segar bukan lagi sebagai ulat hijau yang menjijikkan, tapi sebagai kupu-kupu indah dengan dengan berbagai warna. Ia terbang melenggak-lenggok menunjukkan keindahan dirinya. Pangeran muda itu tersenyum setiap membayangkan kalau saja dirinya bisa keluar dari dirinya sendiri seperti kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu. Terbang dengan genit mencari bunga-bunga bermandikan embun pagi penuh madu. Namun, kali ini pandangannya tertuju pada koloni semut tersebut.

Tiba-tiba Prajapati, bibi sang pangeran, datang menghampiri Siddhartha yang masih terpesona dengan penemuan barunya. Prajapati menghentikan langkahnya di samping Siddhartha, memperhatikan hal yang sama dengan keponakannya.

“Siapa yang menang?” tanyanya.

“Itu tidak penting.” Jawab Siddhartha halus.

Siddhartha menyaksikan seekor semut tentara yang menggotong rayap muda dengan capitnya yang besar. Jalan semut itu terhalang kerikil besar. tidak peduli dengan beban yang ia bawa dua kali lipat dari besar tubuhnya, ia tetap mencoba memanjat kerikil tersebut yang ukurannya lima kali lebih besar dari tubuh si semut. Namun rupanya jalan yang ia tempuh terlalu curam, sehingga sedetik kemudian justru semut itu terpelanting jatuh. Si semut memanjat lagi, terpelanting lagi, memanjat lagi untuk yang ketiga kalinya.

“Bodoh! Harusnya ia memilih untuk tidak melalui batu itu,” Prajapati berkomentar.

“Yang perkasa tidak memilih jalan memutar.” Siddhartha menggeleng.

“Memang semut seperkasa apa?” Lanjut Prajapati penuh keheranan.

“Semut itu menganggap dirinya perkasa. Itu yang penting.”

“Aku bisa menginjaknya. Kalau begitu dia seperkasa apa?” Prajapati tidak mau kalah.

Sambil tersenyum, ia menatap bibinya, lalu mengucapkan sesuatu, “Tuhan bisa menginjak ayahku, tapi beliau tetap menganggap dirinya perkasa.”

“Itu tidak sama!.” Prajapati membalasnya dengan cepat.

Siddhartha kembali tersenyum, kemudian ia mengangkat semut itu. Sambil menatap mainan barunya, ia berkata dengan tenang dan halus.

“Kalau kau menganggap dirimu perkasa, hanya itu yang penting. Tidak ada seorangpun sungguh-sungguh perkasa.”

Mendengar penjelasan Siddhartha, Prajapati tersentak tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Pangeran Siddhattha melihat lima peristiwa
Meski dilimpahi banyak kemewahan, namun Pangeran Siddhattha tetap tidak puas karena hidup terpisah dari dunia luar. Maka pada suatu hari Pangeran menghadap Raja Suddhodana dan berkata:


“Ayahanda, perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat tata-cara kehidupan penduduk yang kelak akan kupimpin.”

Karena permohonan ini wajar, maka Raja pun mengatakan:

“Baik, anakku. Engkau boleh keluar dari istana untuk melihat para penduduk hidup di kota. Tapi aku harus membuat persiapan sehingga sesuatunya baik dan dapat menerima kedatanganmu.”

Setelah itu Raja memerintahkan kepada seluruh rakyat untuk menghias kota. Semua orang yang sakit dan lanjut usia diasingkan ke tempat tersembunyi. Setelah semua siap, Raja pun mengizinkan Pangeran untuk keluar istana. Pangeran Siddhattha keluar istana bersama dengan kuda kesayangannya yang bernama Kanthaka, dan seorang teman sekaligus kusirnya yang bernama Channa. Ia bahagia melihat kehidupan kota yang indah. Segalanya terlihat begitu menyenangkan. Namun tiba-tiba muncul seorang lanjut usia yang menghampiri mereka. Rambutnya berwarna putih, kulitnya kering dan berkeriput, matanya sudah hampir buta, badannya kurus, pakaiannya compang-camping, giginya sudah ompong, dan ia pun berjalan dengan badan terbungkuk dan kelihatan lemah sekali. Orang tua itu meminta makan pada Pangeran. Namun karena Pangeran sangat tercengang, maka Pangeran tidak bisa menjawab apa-apa. Ketika orang tua itu pergi, Pangeran bertanya kepada Channa:

“Siapa itu, Channa? Dia pasti bukan manusia! Mengapa ia bungkuk sekali? Mengapa badannya kurus dan gemetaran? Kenapa semua rambutnya putih, dan bukan hitam seperti kita? Ada apa dengan matanya? Dan kemana semua giginya? Jika benar dia seorang manusia, apa ada orang yang terlahir dalam keadaan seperti tu?”

Channa pun menjawab :

“Saat masih muda, keadaan orang itu sama seperti kita. Namun karena ia sudah tua sekali, maka kedaannya berubah menjadi seperti apa yang Tuanku lihat tadi. Sebaiknya Tuanku melupakannya saja, karena semua orang pasti akan menjadi tua. Hal itu tidak dapat dielakkan.”


Pangeran tertegun mendengar jawaban dari Channa. Mereka kemudian kembali ke istana. Di istana, Pangeran kemudian merenungkan hal ini dengan saksama. Ia tidak dapat menerima kenyataan hidup bahwa semua orang, tanpa memandang status maupun latar belakang, pastilah akan menjadi tua. Malam itu ternyata diadakan sebuah pesta besar di istana. Namun Pangeran tampak terdiam dan memandang ke arah para penari yang cantik sambil berkata dalam hatinya:

“Suatu saat kalian semua akan menjadi tua dan kecantikanmu semua akan memudar…”

Setelah pesta usai, Pangeran masuk ke kamar, dan pikiran itu masih melekat dalam dirinya. Di sana Pangeran terus membayangkan bahwa semua orang akan menjadi tua, dan menjadi buruk rupa. Usia tua, mungkin adalah hal yang biasa bagi kebanyakan orang. Namun bagi Pangeran Siddhattha, kondisi ini sangatlah mengerikan. Setelah persoalan ini diketahui Raja Suddhodana, Raja menjadi cemas. Ia kemudian lebih sering mengadakan pesta besar dan selalu mengirimkan dayang-dayang cantik untuk menghibur Pangeran Siddhattha.

Beberapa hari kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon kepada Raja Suddhodana agar diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavatthu, namun kali ini tanpa terlebih dahulu mengumumkan hal ini pada penduduk. Raja mengizinkannya dengan berat hati, karena dia tahu sudah tidak ada gunanya lagi untuk melarang Pangeran. Pangeran Siddhattha dan Channa pergi dengan berpakaian ala bangsawan agar tidak dikenal oleh penduduk sewaktu berada di kota. Hari itu pemandangan kota berbeda dari sebelumnya. Tidak ada orang-orang yang mengelu-elukan Pangeran Siddhattha, tidak ada bendera-bendera, bunga-bunga, dan lainnya. Semua penduduk berpakaian biasa-biasa saja, dan tidak banyak yang memakai pakaian yang bagus. Pangeran melihat semua orang sedang sibuk bekerja. Ada seorang pandai besi yang tubuhnya berkeringat karena sedang membuat pisau. Ada orang yang sedang mencelup pakaian sehingga menghasilkan kain yang beraneka warna. Ada tukang kue yang sedang membuat kue, hingga ada seorang penjual daging. Tiba-tiba Pangeran dikejutkan dengan seorang yang sedang merintih-rintih sambil bergulingan di tanah. Tangan orang itu terus memegangi perutnya. Di muka dan sekitar badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu. Matanya lesu dan nafasnya terputus-putus. Untuk kedua kalinya, Pangeran Siddhattha melihat hal yang membuat hatinya sedih.

Pangeran menghampiri orang itu, meletakkan kepala orang itu di pangkuannya, kemudian bertanya dengan suara yang menghibur:

“Apa yang terjadi padamu? Mengapa engkau merintih-rintih?”

Orang itu tidak sanggup menjawab dan hanya menangis tersedu-sedu. Kemudian Channa pun berkata kepada Pangeran Siddhattha:

“Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya beracun. Ia menderita demam pes sehingga seluruh tubuhnya terasa terbakar. Oleh karena itu dia merintih-rintih dan tidak bisa berbicara.”

“Tapi, apa ada orang yang juga menderita penyakit seperti dia?”

“Ada, dan mungkin Tuanku adalah orang selanjutnya jika Tuanku berdekatan dengannya selama ini. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali, sebab sakit pes itu sangat menular.”

“Channa, masih adakah penyakit lain selain demam pes ini?”

“Ada, Tuanku. Ada ratusan penyakit lain yang bahkan lebih hebat dari sakit pes.”

“Apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat terserang penyakit? Apakah penyakit datangnya secara mendadak?”

“Benar, Tuanku. Semua makhluk dapat terserang penyakit. Penyakit itu datangnya secara tak terduga. Ada penyakit yang bisa disembuhkan, namun ada beberapa penyakit yang sepertinya tidak dapat disembuhkan, Tuanku.”

Mendengar penjelasan ini, hati Pangeran menjadi sedih sekali. Maka Pangeran Siddhattha dan Channa akhirnya kembali ke istana. Di istana, Pangeran kembali merenungkan hal ini. Kejadian ini membuat Raja menjadi sedih sekali. Beberapa hari kemudian, Pangeran Siddhattha mohon kepada Raja untuk diperkenankan kembali melihat-lihat Kapilavatthu. Raja pun menyetujuinya, karena dia tidak ingin membuat Pangeran menjadi lebih sedih.

Ketika Pangeran Siddhattha dan Channa baru berjalan-jalan tidak terlalu jauh, mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah usungan yang diangkat oleh empat orang. Di atas usungan itu berbaringlah seseorang yang lanjut usia. Badannya kurus sekali dan nampak menderita penyakit, namun ia tidak bergerak sama sekali. Usungan itu diletakkan di atas tumpukkan kayu dekat tepi sungai yang kemudian api pun dinyalakan. Orang itu diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakar semua bagian tubuhnya.


“Channa, ada apa dengan orang itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan membiarkan dirinya dibakar oleh api?”

“Dia sudah tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”

“Mati?! Channa, jadi itu yang dinamakan mati? Kapan pastinya orang itu akan mati? Apa semua orang pasti akan mati?”

“Benar, Tuanku. Semua makhluk pasti akan mati. Kapan pastinya itu tidak dapat ditentukan, karena semua makhluk dapat mati kapan saja dan di mana saja.”

"Terus Kenapa mereka yang menungguinya menangis......?
"Karena mereka sedih,karena harus berpisah dengan sodara mereka dan keluarga juga teman mereka, akan tetapi mereka juga bahagia karena orang yang telah mati itu pasti masuk surga tuanku"

Kali ini Pangeran Siddhattha benar-benar tercengang. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya hancur ketika membayangkan semua makhluk di dunia ini pasti akan mati. Kemudian mereka kembali ke istana, dan Pangeran Siddhattha kembali merenungkan persoalan ini. Pangeran bertekad untuk mencari obat agar semua makhluk dapat menghindari usia tua, sakit dan mati.

Ketika Pangeran Siddhattha mengunjungi Kota Kapilavatthu untuk keempat kalinya, Pangeran pergi beristirahat di bawah pohon jambu. Tiba-tiba Pangeran Siddhattha melihat seorang petapa berjubah kuning datang menghampirinya. Pangeran memberi salam pada petapa itu, kemudian menanyakan kegunaan dari mangkuk yang dibawa oleh petapa itu. Petapa itu menjawab:

“Pangeran yang mulia, aku ini seorang petapa yang mengasingkan diri dari keduniawian. Aku sedang berusaha mencari obat agar semua makhluk terhindar dari usia tua, sakit dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan kemurahan hati dari orang-orang yang mempunyai rasa cinta kasih. Selain dari itu, aku tidak menginginkan benda-benda maupun hal lainnya di dunia ini yang bersifat tidak kekal dan tidak memuaskan ini.”

Pangeran kaget karena petapa ini ternyata memiliki cita-cita yang sama dengan dirinya.

“O, petapa suci, di manakah obat itu dapat ditemukan?”

“Pangeran yang mulia, aku mencari obat itu di dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang jauh dari keramaian dunia. Sekarang maafkan aku, karena aku harus melanjutkan perjalanan. Pencerahan dan kebahagiaan bisa dicapai.”

Pangeran merasa bahagia sekali, dan berkata dalam hati:

“Aku juga harus menjadi petapa seperti dia.”

Pangeran Siddhattha melihat empat peristiwa

Ketika Pangeran sampai di depan istana, para dayang menyambutnya dan memberitahukan bahwa Putri Yasodhara kini sudah melahirkan seorang bayi laki-laki. Mendengar hal ini Pangeran sangat gembira. Namun sekilas kemudian wajahnya menjadi pucat. Pangeran kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan berkata:

“Rahulajato, bandhanang jatang.”

Yang artinya :

“Satu jeratan telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”

Karena itulah anak Pangeran Siddhattha dan Putri Yasodhara diberi nama Rahula (rahula = jerat). Dalam perjalanannya kembali ke istana, Pangeran bertemu dengan Kisa Gotami. Kisa Gotami sangat kagum pada Pangeran, dan ia pun berkata :

“Nibbuta nuna sa mata,
Nibbuta nuna so pita,
Nibbuta nuna sa nari,
Yassa yang idiso pati.”

Yang artinya :

“Tenanglah ibunya,
Tenanglah ayahnya,
Tenanglah istrinya,
Yang mempunyai suami seperti Anda.”

Hati Pangeran tergetar mendengar kata “Nibbuta” yang berarti “tenang” (padamnya semua nafsu) ini. Karena itulah Pangeran pun menghadiahkan sebuah kalung emas yang sedang dipakainya kepada Kisa Gotami.

Pangeran Siddhattha meninggalkan istana

Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja Suddhodana mengadakan satu pesta yang sangat mewah. Tapi Pangeran Siddhattha tampak terdiam dan tidak berbahagia. Dengan berhati-hati Pangeran pun mendekati Raja, kemudian memohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit dan mati di pedalaman hutan. Hal ini membuat Raja menjadi marah besar. Kemudian Pangeran Siddhattha mengganti permohonannya menjadi suatu permintaan yang mustahil bisa dilakukan oleh semua orang atau pribadi manapun.

“Ayahanda, kalau aku tidak diberikan izin, maka mohon kiranya Ayahanda berkenan memberikan delapan macam anugerah kepadaku.”

“Tentu saja, anakku. Aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan permintaanmu kali ini.”

“Kalau begitu, mohon Ayahanda memberikan kepadaku :

1. Anugerah supaya tidak menjadi tua.
2. Anugerah supaya tidak menderita penyakit.
3. Anugerah supaya tidak mati.
4. Anugerah supaya Ayahanda tetap bersamaku.
5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama dengan semua kerabat dapat tetap bersamaku.
6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap berjaya seperti sekarang.
7. Anugerah supaya mereka yang hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, sakit dan mati pada semua makhluk.”

Mendengar pernyataan tersebut, Raja menjadi kaget dan kecewa. Raja kemudian membujuk Pangeran Siddhattha dengan berkata:

“Anakku, usiaku sekarang sudah tua. Tunggu dan tangguhkan kepergianmu saja setelah aku mangkat.”

“Ayahanda, relakan kepergianku justru sewaktu Ayahanda masih hidup. Aku berjanji bila sudah berhasil, aku akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayahanda.”

Perdebatan terus berlangsung, sampai Pangeran merasa frustasi dan pergi ke kamarnya. Raja memerintahkan para dayang yang cantik untuk menyusul Pangeran dan menghiburnya, agar Pangeran dapat melupakan niatnya itu. Dayang-dayang cantik masuk ke kamar dan menghibur Pangeran Siddhattha. Karena Pangeran kelelahan, maka dia pun terlelap di kamar itu. Para dayang pun berhenti menghibur Pangeran dan ikut tertidur di kamar itu. Pada tengah malam, Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat para dayang itu tergeletak dan tidur simpang-siur dalam berbagai posisi. Ada yang terlentang, ada yang terkelungkup, ada yang mulutnya menganga, ada yang air liurnya mengalir keluar, ada yang menggigau, dan masih banyak lagi. Pangeran merasa dirinya berada di pekuburan sehingga membuatnya merasa jijik. Karena hal itulah, maka Pangeran memutuskan untuk meninggalkan istana malam itu juga. Pangeran memanggil Channa dan menyuruhnya untuk menyiapkan Kanthaka. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat anak dan istrinya sebelum pergi untuk bertapa. Yasodhara sedang tidur nyenyak dan memeluk Rahula. Wajah Rahula berpaling dan menghadap ke arah dekapan ibunya, sehingga wajahnya tidak dapat terlihat. Pangeran ingin menggeser sedikit sehingga wajah Rahula dapat terlihat. Namun hal itu diurungkan karena takut kalau Yasodhara terbangun dan rencananya bisa gagal. Pangeran Siddhattha pun berkata dalam hati:

“Biarlah malam ini aku tidak dapat melihat wajah anakku, tapi nanti setelah aku berhasil mendapatkan obat itu, aku akan datang kembali dan dengan puas melihat wajah anak dan istriku.”

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar