Rabu, 14 Oktober 2015

Kisah Sidharta Gautama Cerita Agama Budha Bag 1


Pada zaman dahulu di daerah Majjhima (daerah tengah dari Jambudipa), suku Bangsa Ariyaka yang datang dari utara Pegunungan Himava (Himalaya) membentuk sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sakya. Kata Sakya diambil karena pada saat itu banyak sekali Hutan Pohon Sakka di sekitar daerah tersebut. Suatu masa tibalah masa kepemerintahan bagi Raja Okkaka di kerajaan tersebut. Beliau memiliki 4 orang Pangeran (Okkamukha, Karanda, Hatthinika dan Sinipura) serta 5 orang Putri. Pada suatu hari, Ratu (istri Raja Okkaka, yang juga masih saudara kandungnya) meninggal dunia. Kemudian Raja menikah lagi dengan seorang gadis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Raja sangat gembira, sehingga Beliau melepaskan kata-kata yang menjadi bumerang baginya sendiri. Raja mengucapkan janji kepada Ratu (istri Raja Okkaka yang baru) bahwa beliau akan meluluskan semua permintaan Ratu. Dalam kesempatan itu, Ratu memohon kepada Raja agar anak laki-lakinya diangkat menjadi Putra Mahkota (pewaris kerajaan). Mendengar permohonan Ratu itu, Raja Okkaka menjadi kaget dan menolak untuk meluluskannya. Namun Ratu terus merengek dan mengingatkan Raja akan janjinya yang pernah beliau ucapkan. Karena malu, maka Raja pun akhirnya meluluskan permohonan Ratu tersebut.

Raja Okkaka kemudian memanggil keempat Pangeran dan memerintahkan mereka untuk membawa semua saudari kandung mereka untuk pergi ke suatu daerah lain dan membangun negeri baru. Keempat Pangeran beserta kelima Putri kemudian mohon diri dari Ayahandanya, dan bersama rombongan dalam jumlah yang besar, mereka pergi ke sebuah hutan lain yang banyak ditumbuhi Pohon Sakka, di lereng Gunung Himalaya. Di dekat daerah tersebut ada seorang petapa bernama Kapila yang tinggal di sana. Karena itulah, maka kota yang dibangun itu diberi nama Kapilavatthu (vatthu = tempat). Di kerajaan itulah, mereka menikah di antara sesama saudara, kecuali Putri yang tertua menikah dengan Raja dari Devadha. Empat pasangan yang pertama merupakan leluhur dari Kerajaan Suku Sakya, dan satu pasangan lainnya merupakan leluhur dari Kerajaan Koliya.

Pada suatu waktu ketika Raja Jayasena memerintah di Kapilavatthu, beliau memiliki seorang Pangeran bernama Sihahanu dan seorang Putri bernama Yasodhara. Setelah Raja Jayasena meninggal, Pangeran Sihahanu menjadi Raja di Kapilavatthu dan menikah dengan Putri Kancana, yaitu adik dari Raja Anjana (Kerajaan Devadha). Mereka memiliki lima orang Pangeran yang diberi nama Suddhodana, Sukkodhana, Amitodhana, Dhotodana dan Ghanitodana serta dua orang Putri yang diberi nama Pamita dan Amita. Adik dari Raja Sihahanu, yaitu Putri Yasodhara, menikah dengan Raja Anjana dari Devadha dan memiliki dua orang Pangeran yang diberi nama Suppabuddha dan Dandapani serta dua orang Putri yang diberi nama Maya dan Pajapati (Gotami).

Setelah Raja Sihahanu mangkat, Pangeran Suddhodana pun naik tahta dan menikahi Putri Maya. Adik Raja Suddhodana yang bernama Sukkodana, kemudian menikah dan mempunyai putra yang bernama Ananda. Amitodhana mempunyai dua orang putra yang bernama Mahanama dan Anurudha, serta seorang putri bernama Rohini. Sedangkan adik perempuannya yang bernama Amita, menikah dan mempunyai seorang putra bernama Devadatta dan seorang putri yang bernama Yasodhara.

Lahirnya Pangeran Siddhattha Gotama

Meski Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun mereka masih belum mendapatkan keturunan. Suatu masa ketika Ratu Maya berusia 45 tahun, Ratu mengikuti perayaan Asadha yang berlangsung tujuh hari lamanya. Setelah perayaan selesai, Ratu kemudian mandi dengan air wangi dan setelah itu ia mengucapkan janji Uposatha. Selanjutnya ia pun pergi beristirahat di kamarnya. Dalam tidurnya, Ratu Maya bermimpi bahwa ada empat orang Dewa Agung yang mengantarnya ke Gunung Himalaya, kemudian membawanya ke Pohon Sala di Lereng Manosilatala. Lalu para istri dari Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya di Danau Anotta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikan pakaian para dewata pada Ratu Maya. Ratu kemudian diajak ke istana emas dan direbahkan di atas dipan yang mewah. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, kemudian mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk selanjutnya memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan. Setelah itu Ratu Maya terbangun dan tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi yang singkat. Ratu Maya segera bergegas memberitahukan hal ini ke Raja Suddhodana. Para Brahmana pun dipanggil untuk memberi petunjuk akan mimpi tersebut. Setelah menganalisa mimpi ini, para Brahmana meramalkan jika Ratu Maya akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak bisa menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua raja di dunia) atau seorang Buddha (seorang yang mencapai Pencerahan Sempurna). Dan memang tidak lama kemudian, Ratu Maya menyadari bahwa ia sedang hamil. Ratu pun dapat merasakan keberadaan sang bayi yang tumbuh makin besar di dalam rahimnya dalam posisi duduk bermeditasi dengan posisi muka menghadap ke depan.




Ratu Maha Maya bermimpi tentang seekor gajah putih

Sepuluh bulan (Penanggalan Candra Sengkala) kemudian, di Bulan Vaisak, Ratu Maya mohon izin dari Raja Suddhodana untuk dapat bersalin di rumah ibunya (di Kerajaan Devadha). Dalam perjalanannya itu, Ratu Maya beserta seluruh rombongan tiba di Taman Lumbini (sekarang bernama Rumminde di Pejwar, Nepal). Di taman itu, mereka berhenti dan Ratu Maya pun beristirahat. Ratu Maya berjalan-jalan di taman itu dan berhenti di bawah Pohon Sala. Pada saat itulah Ratu Maya merasa akan segera melahirkan. Maka dengan cepat para dayang membuat tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan Pohon Sala, dan dalam sikap berdiri seperti itulah Ratu Maya melahirkan seorang bayi laki-laki. Kejadian itu terjadi tepat pada purnamasidhi (Bulan Purnama yang bulat sempurna) di Bulan Vaisak pada tahun 623 SM. Sekali lagi terjadilah gempa bumi dashyat yang singkat. Empat Maha Brahma menerima sang bayi dengan jala emas. Para Dewa turut bergembira atas kelahiran sang bayi, meski mereka semua tidak dapat terlihat oleh mata manusia biasa. Kemudian dari langit turun air dingin dan panas untuk memandikan sang bayi sehingga menjadi segar. Sang bayi sendiri juga sudah bersih karena tidak ada darah atau noda lain yang melekat pada tubuhnya ketika dilahirkan. Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan tujuh langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah utara.



Kelahiran Pangeran Siddhattha di Taman Lumbini

Pada masa itu, ada seorang petapa bernama Asita (yang juga dikenal sebagai Kaladevala) yang berdiam di Gunung Himalaya. Ketika sedang bermeditasi, ia diberitahukan oleh para dewa dari Alam Tavatimsa, bahwa telah lahir seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Buddha. Maka pada hari itu juga, Petapa Asita pun berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut. Setelah melihat sang bayi, Petapa Asita melihat adanya 32 tanda luar biasa di bayi itu. 32 tanda (Mahapurissa) tersebut adalah :

1. Telapak kaki rata (suppatitthita-pado).
2. Pada telapak kakinya terdapat cakra dengan seribu ruji, lingkaran dan pusat dalam bentuk sempurna.
3. Tumit yang bagus (ayatapanhi).
4. Jari-jari panjang (digha-anguli).
5. Tangan dan kaki yang lembut serta halus (mudutaluna).
6. Tangan dan kaki bagaikan jala (jala-hattha-pado).
7. Pergelangan kaki yang agak tinggi (ussankha-pado).
8. Kaki yang bagaikan kaki kijang (enijanghi).
9. Kedua tangan dapat menyentuh atau menggosok kedua lutut tanpa membungkukkan badan.
10. Kemaluan terbungkus selaput (kosohitavattha-guyho).
11. Kulitnya bagaikan perunggu berwarna emas (suvannavanno).
12. Kulitnya sangat lembut dan halus, sehingga tidak ada debu yang dapat melekat pada kulit.
13. Pada setiap pori kulit ditumbuhi sehelai bulu roma.
14. Rambut yang tumbuh pada pori-pori berwarna biru-hitam.
15. Potongan tubuh yang agung (brahmuiu-gatta).
16. Tujuh tonjolan (sattussado), yaitu pada kedua tangan, kedua kaki, kedua bahu dan badan.
17. Dada bagaikan dada singa (sihapubbaddha kayo).
18. Pada kedua bahunya tak ada lekukan (citantaramso).
19. Tinggi badan sama dengan panjang rentangan kedua tangan, bagaikan Pohon Nigroda (beringin).
20. Dada yang sama lebarnya (samavattakkhandho).
21. Indria perasa sangat peka (rasaggasaggi).
22. Rahang bagaikan rahang singa (siha-banu).
23. Empat puluh buah gigi (cattarisa-danto).
24. Gigi-gigi yang sama rata (sama-danto).
25. Antara gigi-gigi tak ada celah (avivara-danto).
26. Gigi putih bersih (susukka-datho).
27. Lidah sangat panjang (pahuta-jivha).
28. Suara bagaikan suara brahma, seperti suara Burung Karavika.
29. Mata biru (abhinila netto).
30. Bulu mata lentik, bagaikan bulu mata sapi (gopakhumo).
31. Di antara alis-alis mata, tumbuh sehelai rambut halus, putih bagaikan kapas yang lembut.
32. Kepala bagaikan berserban (unhisasiso).
Setelah melihat sang bayi, Petapa Asita kemudian memberi hormat kepada bayi tersebut. Hal ini juga diikuti oleh Raja Suddhodana. Setelah memberi hormat, Petapa Asita kemudian tertawa gembira, namun kemudian menangis. Petapa Asita kemudian menjelaskan bahwa sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Namun karena saat ini Petapa Asita sudah berusia lanjut, maka ia menjadi sedih karena mungkin ia tidak bisa menunggu sampai bayi itu kelak menjadi dewasa dan memberikan ajarannya. Petapa Asita juga mengatakan bahwa Pangeran kelak akan meninggalkan istana untuk pergi bertapa, jika setelah melihat lima peristiwa, yaitu:
1. Orang tua (lanjut usia).
2. Orang sakit.
3. Orang mati.
4. 0rang menangis.
5. 0rang Bertapa yang tenang indrianya.

Pada hari yang sama dengan kelahiran sang bayi itu, ada 7 peristiwa penting lainnya yang juga terjadi di sekitar Kerajaan Sakka, yaitu:

1. Kelahiran Putri Yasodhara, anak dari Amita (adik perempuan dari Raja Suddhodana).
2. Kelahiran Pangeran Aredeta dari Sukkodana (adik laki-laki dari Raja Suddhodana).
3. Kelahiran Kanthaka, seekor kuda putih di istana.
4. Kelahiran Channa, seorang anak dari orang dalam istana.
5. Kelahiran Kaludayi, seorang anak dari orang dalam istana.
6. Tumbuhnya Pohon Bodhi didalam istana(dalam Bahasa Latin disebut Ficus Religiosa).
7. Munculnya Nihikumbhi (kendi untuk tempat penyimpanan harta pusaka) ke permukaan tanah.

Lima hari setelah kelahiran sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak keluarganya bersama 108 orang Brahmana untuk berpesta dan merayakan kelahiran anak pertamanya. Di antara para Brahmana, ada 8 orang yang mahir dalam meramal nasib, yaitu: Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondanna, Bhoja, Suyama dan Sudatta. Semuanya meramal jika kelak sang bayi akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua raja di dunia) atau menjadi Buddha. Tapi hanya Kondanna (Brahmana termuda) yang dengan tegas mengatakan bahwa sang bayi kelak pasti akan menjadi Buddha. Karena itulah, maka nama yang diberikan kepada sang bayi adalah “Siddhattha”, yang berarti “tercapailah segala cita-citanya”. Karena terlahir dari keluarga Gotama, maka nama lengkap dari bayi itu adalah Siddhattha Gotama (Sanskrit: सिद्धार्थ गौतम). Tujuh hari setelah Pangeran Siddhattha dilahirkan, Ratu Maya meninggal dunia dengan tenang dan bertumimbal lahir di Alam Deva Tavatimsa. Pangeran Siddhattha kemudian dirawat oleh Putri Pajapati (adik kandung Ratu Maya), yang akhirnya dinikahi oleh Raja Suddhodana. Dari pernikahan ini, lahirlah seorang putra bernama Nanda dan seorang putri bernama Rupananda.


Kisah masa kanak-kanak Pangeran Siddhattha
Ketika Pangeran Siddhattha menginjak usia kanak-kanak, Raja Suddhodana mengajaknya ke perayaan membajak yang sudah menjadi tradisi Kerajaan Sakka. Raja juga turut membajak bersama para petani dengan memakai alat bajak yang terbuat dari emas. Perayaan berlangsung sangat menarik, sehingga para dayang yang bertugas untuk menjaga Pangeran Siddhattha malah meninggalkannya. Di sana, Pangeran kecil pun melihat satu fenomena kehidupan yang cukup membuatnya heran. Di sana Pangeran melihat seekor cacing yang dimakan oleh seeokor katak, kemudian katak itu dimangsa oleh seekor ular, dan kemudian ular itu diterkam oleh seekor burung untuk kemudian dimakannya. Pangeran pun tertegun dengan kejadian itu. Dalam benaknya, ia berpikir bahwa kebahagiaan di kehidupan hanyalah sementara, karena kelak akan tiba saatnya menderita. Pangeran juga merasa heran kenapa banyak makhluk yang harus menderita seperti ini, dan terus menjalani kehidupan yang penuh dengan rasa ketakutan dan kesenangan semu. Pangeran lalu merenungkannya di bawah pohon jambu pada tengah hari saat itu. Ketika para dayang kembali, mereka terheran melihat Pangeran Siddhattha sedang duduk bersila dan tidak menghiraukan sekelilingnya. Mereka lantas melaporkan hal ini kepada Raja. Raja Suddhodana pun lekas menengok putranya bersama semua orang di perayaan itu. Raja Suddhodana dan orang-orang pun terheran ketika melihat Pangeran Siddhattha. Mereka juga melihat keajaiban, dimana jatuhnya bayangan pohon jambu tidak mengikuti arah sinar matahari, namun tetap memayungi Pangeran Siddhattha yang sedang bermeditasi. Melihat kejadian ini, untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi hormat kepada anaknya.


Pangeran Siddhattha Kecil duduk bersila di bawah pohon jambu
Ketika Pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk membuat tiga buah kolam di halaman istana untuk ditanami Bunga Teratai. Satu kolam ditanami bunga teratai berwarna biru (Upalla), satu kolam ditanami bunga teratai berwarna merah (Paduma), dan kolam lainnya dengan bunga teratai berwarna putih (Pundarika). Raja juga memesan wewangian, pakaian, dan tutup kepala dari Negeri Kasi, yang waktu itu merupakan negeri penghasil barang bermutu tinggi. Pelayan-pelayan diperintahkan untuk melindungi Pangeran Siddhattha dengan sebuah payung yang indah kemanapun Pangeran pergi, baik siang maupun malam sebagai lambang keagungannya. Setelah usianya cukup, Pangeran Siddhattha pun dibawa pada seorang Guru bernama Visvamifta. Pangeran diberikan pelajaran berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddhattha dapat memahami semua pelajaran dalam waktu yang singkat, sehingga tidak ada lagi yang dapat diajarkan kepadanya.

Sejak kecil, Pangeran Siddhattha mempunyai rasa welas asih yang tinggi kepada semua makhluk. Pangeran sering bermain di taman dan memberikan makanan kepada berbagai jenis hewan. Pada suatu hari, Pangeran Siddhattha berjalan di taman bersama dengan saudara sepupunya yang bernama Devadatta. Devadatta melihat serombongan belibis terbang. Dengan segera ia mengambil busur dan kemudian memanah ke serombongan belibis tersebut. Anak panahnya tepat mengenai salah satu belibis itu. Pangeran Siddhattha kemudian langsung menghampiri tempat belibis itu jatuh, dan kemudian dengan hati-hati mencabut anak panah yang menancap di sayap belibis itu. Pangeran lalu meremas beberapa lembar daun untuk mengobati belibis itu. Devadatta mendesak Pangeran Siddhattha untuk menyerahkan belibis itu, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Perkara ini kemudian dibawa ke tempat Dewan Para Bijaksana. Di sana dibuat satu keputusan yang mengesahkan Pangeran Siddhattha berhak atas belibis tersebut, karena atas dasar pemikiran bahwa hidup adalah milik orang yang berusaha mempertahankannya, bukan milik orang yang berusaha menghancurkannya.



Pangeran Siddhattha menyelamatkan seekor belibis yang dipanah oleh Devadatta
Pangeran Siddhattha menikmati kehidupan sebagai Putra Mahkota

Saat Pangeran berusia 16 tahun, Raja Suddhodana membangun tiga istana super mewah untuk Pangeran Siddhattha. Satu istana untuk musim dingin (Ramma), satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana untuk musim hujan (Subha). Raja Suddhodana lalu mengirimkan undangan kepada para orangtua yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, dimana Pangeran akan memilih seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun semua orangtua itu tidak mempedulikannya. Mereka menganggap Pangeran Siddhattha adalah seorang yang tidak mempunyai bakat kesenian maupun ilmu peperangan. Sugesti itu menciptakan persepsi bahwa Pangeran Siddhattha mungkin kelak tidak bisa melindungi istrinya. Ketika Pangeran mengetahui hal ini, Pangeran pun memohon kepada Raja Suddhodana untuk mengadakan satu sayembara yang mempertandingkan berbagai ilmu kesenian dan ilmu peperangan. Semua tamu undangan yang sebelumnya pun dipanggil kembali; beserta semua anak laki-laki dan pangeran-pangeran dari negeri lain, turut memeriahkan sayembara itu. Dalam kontes bakat seni, ternyata Pangeran Siddhattha berhasil menujukkan bakat seninya. Salah satunya adalah menciptakan pantun. Dalam berbagai ilmu peperangan, misalnya menjinakkan kuda liar, menggunakan pedang, hingga bertarung; Pangeran Siddhattha juga menunjukkan kehebatannya. Khusus dalam menggunakan busur panah, Pangeran Siddhattha dipastikan menang telak. Semua orang tidak bisa membentangkan busur tersebut, karena busur itu sangat besar dan berat. Namun Pangeran Siddhattha dapat menggunakannya dan berhasil melepaskan anak panah yang menembus batang Pohon Tala. Setelah menunjukkan semua kehebatannya, semua hadirin sangat kagum pada Pangeran Siddhattha. Di antara kurang lebih 40.000 gadis cantik, Pangeran Siddhattha menjatuhkan pilihannya pada gadis yang bernama Yasodhara, yang merupakan sepupunya (adik kandung Devadatta, anak dari Bibi Amita). Pada penutupan acara, Devadatta mempertunjukkan kekuatannya dengan menantang seekor gajah liar. Gajah jantan yang besar itu dibunuh Devadatta hanya dengan sekali pukul dan sekali tendang. Pangeran Siddhattha sangat iba melihat hal ini. Kemudian ia sendiri menyeret mayat gajah itu dengan kakinya sampai sejauh 8 yojana (1 yojana = 8 mil), untuk kemudian dikuburnya.

http://sidartasakyamuni.blogspot.co.id/

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar